A.
Konstanta
damping/peredam
Penggetaran
pahat bajak (tillage tools) yang digunakan untuk membajak tanah telah
terbukti dapat menurunkan besar gaya potong tanah,khususnya bila perbandingan
antara kecepatan getar maksimum pahat bajak dengan kecepatan maju traktor
penarik pahat bajak lebih besar dari satu.
Perbandingan
ini disebut dengan rasio kecepatan.Selain itu, dengan rasio tersebut, kondisi
tanah manjadi lebih gembur. Sehingga akibat banyaknya retakan pada tanah, penetrasi akar tumbuhan,
nutrisi, air dan sirkulasi udara di dalam tanah menjadi lebih mudah [1].
Keadaan tanah seperti ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Ada dua
cara dalam penggetaran pahat bajak. Cara pertama yaitu dengan member energi
mekanis untuk menghasilkan gerakan osilasi pahat.
Sedang
cara kedua yaitu dengan memanfaatkan bagian elastis dari tillage tolls yang
dikombinasikan dengan variasi gaya potong tanah yang bertujuan untuk
menghasilkan getaran eksitasi sendiri. Cara yang pertama berhasil menurunkan
gaya potong tanah secara signifikan, namun disertai dengan kenaikan konsumsi
energi yang berlebihan. Kenaikan konsumsi energi ini disebabkan karena energi
yang diperlukan untuk menggerakkan inersia dari pahat bajak dan mekanismenya, cukup besar Radite et.al.
[2] telah menurunkan persamaan matematik dari mekanisme togel dari bajak getar
yang meliputi analisis kinematik dan analisis dinamik. Dengan konfigurasi yang
spesifik, Radite mendapatkan penurunan gaya tarik (draft) yang
diperlukan guna membongkar kepadatan tanah sekitar 30 % hingga 60 % pada rasio
kecepatan sekitar 4. Bandalan et al. [3] telah melakukan studi
eksperimental yang bertujuan untuk membongkar lapisan tanah padat/kedap (hardpan)
dengan cara mengosilasikan batang bajak tanah lapisan dalam (subsoiler
shank) secara harmonis pada kedalaman subsoiling sekitar 0.46m.
Hasil terbaik tercatat pada ratio kecepatan sekitar 3.2 dengan draft ratio (perbandingan
antara gaya potong tanah dengan penggetaran tillage tools dengan gaya
potong tanah tanpa penggetaran) sekitar 0.33, dan dengan power ratio (perbandingan
antara konsumsi energi dengan penggetaran tillage tools dengan konsumsi
energy tanpa penggetaran tillage tools sekitar 1.24. Niyamapa et al [4][5]
mengungkapkan pengaruh frekuensi dan amplitudo gerak osilasi batang pahat
terhadap gaya potong tanah.
Pengaruh
ini dikaji pada variasi velocity ratio lebih besar dari satu. Pada
makalah diungkapkan bahwa draft ratio dan power ratio yang
diperolih masing-masing sekitar 63 % hingga 93 % dan sekitar 41 % hingga 51 %.
Penurunan persamaan matematik dari penggetaran tillage tool gerak
osilasi telah dilakukan oleh Butson et. al [6][7] dan Kofoed S. S. [8].
Untuk menurunkan persamaan matematik ini dilakukan analisis kinematik, draft
ratio dan power ratio. Hasil penurunan ini selanjutnya diuji secara
eksperimental. Karena sifat fisis tanah yang berubah-ubah, maka baik draft
ratio maupun power ratio yang diperoleh dari penurunan persamaan
matematik berbeda secara signifikan dengan hasil pengujian eksperimental. Studi
eksperimental terhadp fenomena getaran esksitasi sendiri pada operasi
pembajakan (tillage) telah dilakukan oleh Berntsen et.al. [9]
dengan menggunakan pahat bajak pipih dan kaku (rigid tines) dan pahat
bajak pipih dan fleksibel (flexible tinis). Penelitian dilakukan
pada kondisi tanah lempung (loam soil) sehabis dibajak (tilled soil)
dan pada kondisi padat (no-tilled soil).
Pengorasiannya
dilakukan dengan kecepatan 1 m/s dan 2 m/s. Sedang kedalaman pemotongan
dilakukan pada 0.06 m dan 0.12 m. Jika dioperasikan pada no-tilled soil, Bernstsen
mencatat penurunan gaya potong tanah pada flexible tines sebesar 20 %
hingga 28% jika dibandingkan dengan gaya potong tanah yang diperlukan oleh rigid
tine. Namun jika dioperasikan pada tilled soil, terjadi hal
sebaliknya yaitu rigid tine memberikan draft lebih rendah dibandingkan
dengan draft yang dicatat oleh flexible tines. Tetapi bila
fleksibilitas dari flexible tines dibuat semakin tinggi maka draft yang
dihasilkan oleh flexible tines akan lebih rendah dibandingkan dengan draft
yang dihasilkan oleh rigid tine. Qiu Lichun dan Li Baofa [10] telah
membuat penurunan matematik fenomena self excited vibration saat
pembajakan tanah. Meskipun ada kesalahan pada penurunan matematik yang dibuat,
namun dalam pengujian eksperimental diungkapkan ada penurunan gaya potong tanah
sekitar 10.8 % Pada makalah ini akan dibuat penurunan matematik dari getaran
pahat bajak pada fenomena self excited vibration.
Pembahasan
meliputi penurunan persamaan diferensial dari getaran subsoiler shank dan
model dinamis dari getaran pahat bajak. Gangguan alami akibat variasi gaya
potong tanah dimodelkan sebagai fungsi periodik yang didasarkan atas data
kualitatif dari hasil uji tekan tanah tanpa batas (unconfine test) yang
dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah IPB. Respon getaran dari subsoiler
shank dicari dengan menggunakan metode deret Fourier. Selanjutnya dibahas
pula tentang pengaruh elastisitas pegas terhadap defleksi tillage tools Dengan
demikian akan didapatkan gambaran tentang kemungkinan penurunan gaya potong
tanah akibat penomena self excited vibration.
ESTIMASI ORDE SISTEM
Orde
atau dikenal dengan derajat suatu sistem dapat diestimasi dari fungsi step
(step response) yang dipergunakanatau dengan penggunaan Bode Plot. Derajat
relative suatu sistem yaitu perbedaan antara orde dari denominator (penyebut)
dan orde dari numerator (pembilang) dari fungsi alih.
STEP RESPONSE
Jika
respon respon sistem merupakan non-zero step input akan memiliki slope yang
bernilai 0 ketika t=0, system harus merupakan orde kedua atau lebih tinggi lagi
sebab sistem memiliki derajat relative dua atau lebih. Jika step respon
menunjukkan osilasi, sistem juga harus menunjukkan orde kedua atau lebih dengan
sistem yang underdamped.
BODE PLOT
Penggambaran
fasa (phase plot) juga dapat menjadi indicator untuk mencari orde yang
baik dalam. Jika fasa turun hingga dibawah -90 degrees, sistem merupakan
orde kedua atau lebih tinggi. Derajat relative sistem memiliki nilai
paling kecil atau sama besar dengan bilangan dari perkalian -90 degrees hingga
dicapai nilai asymtot pada nilai paling rendah pada
penggambaran fasa (phasa plot)
sistem.
IDENTIFIKASI SISTEM DARI STEP
RESPONSE
DAMPING RATIO
– Untuk kondisi underdamped dari sistem orde dua, Nilai damping ratio dapat
dihitung dari persentase overshoot dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
z =
-ln(%OS/100) / sqrt(p2+ln2(%OS/100))
dimana
%OS merupakan persentase overshoot, yang
dapat diperkirakan dari penggambaran nilai off dari step response.
DC
GAIN - Nilai Penguatan DC (DC gain) merupakan
perbandingan dari kondisi steady state dari step response dengan nilai
magnitude dari step input.
DC Gain = steady state output / step magnitude
NATURAL FREQUENCY –
Frekuensi alami (natural frequency) dari
kondisi underdamped sistem orde dua dapat ditentukan dari nilai damped
frekuensi alami yang dapat diukur dari nilai penggambaran off step response dan
nilai damping ratio seperti yang telah dihitung diatas.
wn = wd / sqrt(1 - z2)
dimana
wd merupakan damped frekuensi dalam
rad/s yang bernilai 2p/Dt dimana
Dt
merupakan interval wakti antara dua
consecutive peaks dari step response.
IDENTIFIKASI SISTEM DARI BODE PLOT
DC GAIN – Nilai DC Gain sistem dapat dihitung dari nilai magnitude
bode plot ketika s=0.
DC Gain = 10M(0)/20
where M(0) is the magnitude of the bode plot when jw=0.
NATURAL FREQUENCY
– Frekuensi alami (natural frequency)
dari sistem orde dua terjadi ketika fasa dari respon mencepai sudut relative
-90 terhadap fasa input.
wn = w-90°
dimana w-90°
merupakan frekuensi pada saat phase
plot di -90 degrees.
DAMPING RATIO
- Nilai damping ratio sistem
ditemukan dengan nilai DC Gain dan nilai magnitude dari bode plot ketika fasa
plot -90 degrees.
z =
K / (2*10(M-90°/20))
dimana M-90°
merupakan nilai magnitude bode plot
ketika fasa -90 degrees.
IDENTIFIKASI PARAMETER SISTEM
Jika tipe sistem telah diketahui,
parameter khusus sistem dapat ditentukan dari step response atau bode
plot. Bentuk umum fungsi alih dari sistem orde satu yaitu :
G(s) = b/(s+a) = K/(ts+1).
Sedangkan bentuk umum fungsi alih dari sistem orde dua yaitu :
G(s) = a/(s2+bs+c) = Kwn2/(s2+2zwns+wn2)
B.
Nilai kekakuan
pada getaran
Pada
dasarnya dalam suatu struktur, batang akan mengalami gaya lateral dan aksial.
Suatu batang yang menerima gaya aksial desak dan lateral secara bersamaan
disebut balok kolom. Akibat adanya gaya lateral batang akan berperilaku sebagai
balok, sedangkan akibat gaya aksial desak batang akan berperilaku sebagai kolom.
Kolom dapat dikategorikan berdasarkan panjangnya. Kolom pendek adalah jenis
kolom yang kegagalannya berupa kegagalan material.
Kolom
sedang kegagalannya ditentukan oleh hancurnya material dan tekuk (buckling),
sedangkan kolom panjang adalah kolom yang kegagalannya ditentukan oleh tekuk
yang terjadi akibat ketidakstabilan kolom. Tekuk terjadi apabila suatu kolom
menerima gaya aksial meskipun belum mencapai tegangan leleh. (Daniel L.
Schodek, 1999) Fenomena tekuk berkaitan dengan kekakuan elemen struktur. Suatu
elemen yang mempunyai kekakuan kecil lebih mudah mengalami tekuk dibandingkan dengan
elemen yang mempunyai kekakuan besar. Untuk menghindari kegagalan akibat tekuk
pada kolom, maka luas tampang tekan dan bentuk dari tampang harus dipilih
secara benar. Momen inersia menjadi salah satu pertimbangan yang penting dalam
pemilihan tampang, maka nilai momen inersia dapat ditingkatkan dengan
menyebarkan luas tampang dalam batas-batas praktis sejauh mungkin dari
sumbunya. Bentuk dan ukuran profil standar adalah terbatas, dikarenakan adanya
pertimbangan ekonomi dan faktor kesulitan dalam proses manufakturnya. Saat tampang
standar sudah tidak mencukupi persyaratan
sebagai batang
tekan yang diinginkan, maka beberapa tampang dapat dirangkai menjadi satu agar
didapat suatu bentuk tampang yang diinginkan, yang disebut kolom batang
tersusun. (S.K. Duggal, 1983).
Penampang
bentukan (built-up) dibuat bila luas tampang melintang profil tidak
mencukupi kebutuhan atau bila diperlukan profil dengan ukuran khusus dan radius
girasi yang cukup besar (S.K. Duggal, 1983). Dalam bentuk batang tersusun
diperlukan penghubung berupa pelat atau batang. Penghubung berfungsi untuk
menahan gaya lintang sepanjang kolom sehingga batang tersusun dapat bekerja sebagai
satu kesatuan dalam mendukung beban. Batang-batang penghubung dapat disusun melintang,
diagonal atau kombinasi keduanya (Padosbajayo, 1991). Kolom batang tersusun
mempunyai kelebihan dibanding kolom tunggal diantaranya :
1. Kolom
tersusun memberikan luas tampang yang lebih besar dibanding kolom tunggal.
2. Kolom
tersusun dapat menahan beban yang lebih besar dari kolom tunggal.
3. Kolom
tersusun mempunyai kekakuan lebih besar dari kolom tunggal.
Berdasarkan
hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan pengujian yang khusus menganalisa
tentang kekuatan, kekakuan dan stabilitas kolom baja tersusun. Berdasarkan
latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan sebuah
masalah yang dapat dikaji yaitu :
1.
Berapa
kekuatan kolom batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
2.
Bagaimana
pola kegagalan batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
3.
Bagaimana
pengaruh penambahan variasi jarak pelat kopel terhadap kekakuan kolom batang
tersusun.
Pada penelitian
ini dilakukan pembatasan yaitu :
1.
Kolom
batang tersusun yang dibahas terdiri dari empat profil siku dengan variasi
jarak pelat kopel seperti tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Batang
tekan tersusun profil siku
1.
Beban
yang bekerja adalah beban aksial tekan sentris.
2.
Tumpuan
ujung kolom dianggap sebagai jepitsendi.
3.
Kekuatan
las pada sambungan pelat pengaku dianggap mampu menahan beban yang bekerja.
4.
Momen
pada kolom tidak dibahas.
5.
Peraturan
konstruksi mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1729-2002).
Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang telah
dirumuskan, yaitu
1)
Mengetahui
kekuatan kolom batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
2)
Mengetahui
pola kegagalan batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
3)
Mengetahui
pengaruh penambahan variasi jarak pelat kopel terhadap kekakuan kolom batang
tersusun.
λ iy = Angka kelangsingan.
λ c = Faktor Angka kelangsingan.
E = Modulus elastisitas baja (MPa)
fy = tegangan leleh baja. (MPa)
B.
Bentuk
getaran atau gelombang dan contohnya
Pengukuran gaya
dengan transducer yang menggunakan sensor berbasis tegangan-regangan, strain
gauge, banyak dilakukan khususnya pada konstruksi mesin maupun konstruksi
sipil. Pada proses pembebanan statis, pengukuran dengan sensor ini memberikan
hasil yang memuaskan yaitu cukup teliti dan relatif sederhana dalam pengerjaan.
Namun demikian untuk proses pembebanan dinamis, terutama pada pengukuran gaya
tumbukan, penggunaan sensor gaya ini masih mengalami beberapa kendala dimana
faktor pegas dari transducer sering menghasilkan sinyal ikutan atau getaran
bebas yang mengganggu sinyal utamanya. Untuk memperoleh ketepatan pengukuran
maka sinyal-sinyal ikutan ini harus dihilangkan.
Konsole atau batang
gantung sederhana (simple cantilever) merupakan bentuk transducer yang
banyak digunakan karena kesederhanaannya. Namun demikian transducer jenis ini
sangat peka terhadap timbulnya “getaran bebas” khususnya apabila digunakan
dalam pengukuran gaya-gaya tumbukan. Mashithoh dan Purwantana (2000) misalnya,
melakukan pengukuran volume droplet sprayer dengan metode tumbukan. Sebuah
transducer gaya tipe konsole dengan ukuran yang sangat kecil dibuat untuk mendeteksi besarnya gaya tumbukan droplet.
Pada pengukuran droplet tunggal metode yang digunakan ini cukup baik yaitu
dapat mendeteksi dan membedakan ukuran droplet berdasarkan gaya tumbukan yang
dihasilkan. Namun demikian untuk droplet majemuk yang jatuh hampir dalam waktu
yang hampir bersamaan sulit dideteksi karena dari output sinyal yang dihasilkan
sulit dipisahkan antara sinyal yang terjadi karena proses tumbukan dengan
sinyal karena getaran bebas oleh tumbukan droplet yang sebelumnya.
Purwantana et al.
(2002), dalam pengukuran gaya tumbukan pada pisau pemotong rumputan mendapatkan
bahwa sinyal ikutan selalu muncul dengan frekuensi atau kerapatan yang
bervariasi tergantung kecepatan tumbukan dan kekerasan serta kekenyalan bahan
yang bertumbukan. Untuk mengatasinya telah dicoba dengan membuat transducer
yang mempunyai frekuensi natural yang lebih tinggi (Purwantana et al. (2003).
Dengan cara ini masalah sinyal ikutan bisa sedikit dikurangi tetapi muncul masalah
baru yaitu sensitvitas sensor menjadi turun.
Persoalan sinyal ikutann akibat getaran
bebas juga ditemui oleh Shoji (2003) ketika melakukan pengukuran aliran butiran
gabah yang masuk ke dalam kontainer suatu mesin pemanen padi yang dilakukan
dalam rangka otomatisasi deteksi produksi padi pada suatu areal lahan. Proses
tumbukan biji gabah dideteksi dengan sensor gaya berupa transducer cincin (ring
transducer). Persoalan muncul karena setiap butir gabah yang menumbuk
sensor memberikan sinyal ikutan sehingga sinyal tumbukan gabah berikutnya
bercampur dengan sinyal ikutan gabah sebelumnya. Karena selang waktu antara
gabah satu dan yang lain adalah amat sangat kecil maka terjadi kebingungan
dalam analisis yaitu apakah suatu sinyal itu merupakan sinyal nyata atau sinyal
ikutan dari proses tumbukan sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini, Shoji (2003)
menyarakan dilakukannya proses kompensasi getaran.
Seperti dikemukakan oleh Purwantana et
al. (2002), disamping dari faktor bahan transducer persoalan sinyal ikutan atau
getaran bebas juga disebabkan oleh bahan yang bertumbukan dengan sensor. Dalam
hal bahan pertanian, yang pada umumnya bersifat viskoelastis, secara mekanis
mempunyai kelembaman dengan variasi yang sangat lebar (Sitkei, 1986). Juga
kekerasan kulit bahan pertanian seperti bijian atau buah-buahan juga dapat
menyebabkan terjadinya getaran bebas pada sensor-sensor pengukurnya.
Dalam teori umum tentang getaran,
dikenal getaran tak terkekang (undamped vibration). Termasuk dalam
kriteria ini adalah getaran bebas yaitu getaran yang tetap ada meskipun gaya
yang menyebabkannya telah dipindahkan. Getaran ini secara prinsip dapat
dieliminasi apabila periode atau frekuensi getaran dalam interval tertentu
dapat dianggap konstan.
LANDASAN TEORI
Sistem-sensor untuk
pengukuran suatu gaya diilustrasikan sebagai berikut:
Persamaan umum untuk
sistem-sensor diatas adalah:
(1)
dimana F(t) adalah gaya luar yang bekerja pada
sensor, k, c, m masing-masing adalah konstanta pegas, kelembaman (damping),
dan inersia sensor, dan x adalah jarak perpindahan. Karena jarak
perpindahan x adalah proporsional terhadap tegangan output X dari
sistem sensor-amplifier-recorder, persamaan (1) dapat ditulis dengan
mendefinisi ulang M, C, dan K sebagai:
(2)
Konstanta K ditentukan dari kalibrasi statis
sensor dimana X dianggap nol.
Konstanta M dan C ditentukan dari data time-series yang
dikumpulkan dari kumpulan data getaran bebas (damped free vibration)
dimana gaya luar tidak bekerja.
Misalkan [Xk] adalah output absolut
puncak-puncak getaran, maka penurunan puncak-puncak getaran dapat dinyatakan
sebagai
(3)
(4)
dan dimana
(5)
Frekuensi sudut q dari vibrasi teredam dinyatakan
dengan frekuensi sudut natural tak teredam (undamped natural angular
frequency) ω0
(6)
Konstanta M dan C diperoleh dari persamaan (5) dan (6)
sebagai
(7)
(8)
Dengan formulasi ini maka sinyal semu
dari set data dimana sebenarnya gayanya sudah tidak bekerja lagi dapat
dipisahkan dari sinyal nyata selama gaya bekerja.
Berdasarkan penjabaran teoritis diatas
maka sinyal nyata dapat dipisahkan dari sinyal ikutannya sehingga dalam
pengukuran akan didapatkan hasil nyata dari gaya yang bekerja pada sensor.
Tingkat ketelitian hasil pengukuran akan sangat tergantung pada keakuratan
nilai parameter sifat mekanis bahan khususnya konstanta pegas dan kelembaman.
Kaliberasi transducer
Gambar 1. Instalasi alat dan instrumen pengukuran
Gambar 2 sampai 5 memperlihatkan
contoh-contoh hasil pengukuran dan analisa eliminasi getaran bebas pada berbagai
pembebanan (pukulan). Terlihat bahwa secara nyata sinyal getaran bebas dapat
dihilangkan dari sinyal utamanya. Masih tampak adanya sedikit gelombang sinyal
namun dengan proporsi yang jauh sangat kecil. Pada pinsipnya apabila sisa
gelombang ini merupakan gelombang yang mempunyai periode dan amplitudo maka
masih bisa dieliminir dengan cara deferensiasi lebih lanjut sepertihalnya pada
metode deferensiasi sebelumnya. Namun demikian dari hasil pengamatan
menunjukkan bahwa sinyal tersebut bukan sinyal periodik sehingga proses
lanjutan tidak diperlukan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan
masih adanya gelombang sisa setelah eliminasi, seperti: kurang presisinya
dimensi transducer dan penempatan sensor gaya pada transducer. Pada transducer
yang dibuat, sensor gaya ditempel dalam bentuk pasangan (atas dan bawah) dengan
maksud supaya kompensasi bisa dilakukan. Namun apabila ketebalan antara bagian
atas dan bawah sedikit berbeda maka proses kompensasi tersebut tidak bisa
sempurna, tetapi masih meninggalkan selisih baik positip maupun negatip. Hal
serupa juga terjadi bila spasi pemasangan sensor gaya tidak tepat sama.
Perbedaan spasi juga menyebabkan besaran gaya yang berbeda sehingga besarnya
regangan akibat beban tarikan di salah satu permukaan tidak bisa terkompensasi
oleh pemendekan akibat beban tekan atau kompresi di permukaan yang berlawanan.
Hasil
analisis menunjukkan bahwa sifat kelembaman, damping atau dashpot
dari bahan mempunyai peran yang lebih besar terhadap terjadi atau tidak
terjadinya getaran bebas daripada sifat inersia bahan. Ini ditunjukkan oleh
besaran konstanta kelembaman (C) yang nilainya jauh lebih besar
dari konstanta inersia (M).
sifat inersia bahan. Ini ditunjukkan
oleh besaran konstanta kelembaman (C) yang nilainya
jauh lebih
besar dari konstanta inersia (M).
Gambar 3. Grafik pengukuran gaya sebelum dan setelah dilakukan proses eliminasi pada sensor pipa konsole dengan beban 2,5 Newton.
Gambar 4. Grafik pengukuran gaya sebelum dan setelah dilakukan proses eliminasi pada sensor oktagonal dengan beban 4 Newton.