Rabu, 18 September 2013

GETARAN MEKANIK (Konstanta Damping, Nilai Kekakuan, Bentuk Getaran / Gelombang & Contohnya)


A.     Konstanta damping/peredam

Penggetaran pahat bajak (tillage tools) yang digunakan untuk membajak tanah telah terbukti dapat menurunkan besar gaya potong tanah,khususnya bila perbandingan antara kecepatan getar maksimum pahat bajak dengan kecepatan maju traktor penarik pahat bajak lebih besar dari satu.
Perbandingan ini disebut dengan rasio kecepatan.Selain itu, dengan rasio tersebut, kondisi tanah manjadi lebih gembur. Sehingga akibat banyaknya  retakan pada tanah, penetrasi akar tumbuhan, nutrisi, air dan sirkulasi udara di dalam tanah menjadi lebih mudah [1]. Keadaan tanah seperti ini sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman. Ada dua cara dalam penggetaran pahat bajak. Cara pertama yaitu dengan member energi mekanis untuk menghasilkan gerakan osilasi pahat.
Sedang cara kedua yaitu dengan memanfaatkan bagian elastis dari tillage tolls yang dikombinasikan dengan variasi gaya potong tanah yang bertujuan untuk menghasilkan getaran eksitasi sendiri. Cara yang pertama berhasil menurunkan gaya potong tanah secara signifikan, namun disertai dengan kenaikan konsumsi energi yang berlebihan. Kenaikan konsumsi energi ini disebabkan karena energi yang diperlukan untuk menggerakkan inersia dari pahat bajak dan  mekanismenya, cukup besar Radite et.al. [2] telah menurunkan persamaan matematik dari mekanisme togel dari bajak getar yang meliputi analisis kinematik dan analisis dinamik. Dengan konfigurasi yang spesifik, Radite mendapatkan penurunan gaya tarik (draft) yang diperlukan guna membongkar kepadatan tanah sekitar 30 % hingga 60 % pada rasio kecepatan sekitar 4. Bandalan et al. [3] telah melakukan studi eksperimental yang bertujuan untuk membongkar lapisan tanah padat/kedap (hardpan) dengan cara mengosilasikan batang bajak tanah lapisan dalam (subsoiler shank) secara harmonis pada kedalaman subsoiling sekitar 0.46m. Hasil terbaik tercatat pada ratio kecepatan sekitar 3.2 dengan draft ratio (perbandingan antara gaya potong tanah dengan penggetaran tillage tools dengan gaya potong tanah tanpa penggetaran) sekitar 0.33, dan dengan power ratio (perbandingan antara konsumsi energi dengan penggetaran tillage tools dengan konsumsi energy tanpa penggetaran tillage tools sekitar 1.24. Niyamapa et al [4][5] mengungkapkan pengaruh frekuensi dan amplitudo gerak osilasi batang pahat terhadap gaya potong tanah.
Pengaruh ini dikaji pada variasi velocity ratio lebih besar dari satu. Pada makalah diungkapkan bahwa draft ratio dan power ratio yang diperolih masing-masing sekitar 63 % hingga 93 % dan sekitar 41 % hingga 51 %. Penurunan persamaan matematik dari penggetaran tillage tool gerak osilasi telah dilakukan oleh Butson et. al [6][7] dan Kofoed S. S. [8]. Untuk menurunkan persamaan matematik ini dilakukan analisis kinematik, draft ratio dan power ratio. Hasil penurunan ini selanjutnya diuji secara eksperimental. Karena sifat fisis tanah yang berubah-ubah, maka baik draft ratio maupun power ratio yang diperoleh dari penurunan persamaan matematik berbeda secara signifikan dengan hasil pengujian eksperimental. Studi eksperimental terhadp fenomena getaran esksitasi sendiri pada operasi pembajakan (tillage) telah dilakukan oleh Berntsen et.al. [9] dengan menggunakan pahat bajak pipih dan kaku (rigid tines) dan pahat bajak pipih dan fleksibel (flexible tinis). Penelitian dilakukan pada kondisi tanah lempung (loam soil) sehabis dibajak (tilled soil) dan pada kondisi padat (no-tilled soil).
Pengorasiannya dilakukan dengan kecepatan 1 m/s dan 2 m/s. Sedang kedalaman pemotongan dilakukan pada 0.06 m dan 0.12 m. Jika dioperasikan pada no-tilled soil, Bernstsen mencatat penurunan gaya potong tanah pada flexible tines sebesar 20 % hingga 28% jika dibandingkan dengan gaya potong tanah yang diperlukan oleh rigid tine. Namun jika dioperasikan pada tilled soil, terjadi hal sebaliknya yaitu rigid tine memberikan draft lebih rendah dibandingkan dengan draft yang dicatat oleh flexible tines. Tetapi bila fleksibilitas dari flexible tines dibuat semakin tinggi maka draft yang dihasilkan oleh flexible tines akan lebih rendah dibandingkan dengan draft yang dihasilkan oleh rigid tine. Qiu Lichun dan Li Baofa [10] telah membuat penurunan matematik fenomena self excited vibration saat pembajakan tanah. Meskipun ada kesalahan pada penurunan matematik yang dibuat, namun dalam pengujian eksperimental diungkapkan ada penurunan gaya potong tanah sekitar 10.8 % Pada makalah ini akan dibuat penurunan matematik dari getaran pahat bajak pada fenomena self excited vibration.
Pembahasan meliputi penurunan persamaan diferensial dari getaran subsoiler shank dan model dinamis dari getaran pahat bajak. Gangguan alami akibat variasi gaya potong tanah dimodelkan sebagai fungsi periodik yang didasarkan atas data kualitatif dari hasil uji tekan tanah tanpa batas (unconfine test) yang dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah IPB. Respon getaran dari subsoiler shank dicari dengan menggunakan metode deret Fourier. Selanjutnya dibahas pula tentang pengaruh elastisitas pegas terhadap defleksi tillage tools Dengan demikian akan didapatkan gambaran tentang kemungkinan penurunan gaya potong tanah akibat penomena self excited vibration.

ESTIMASI ORDE SISTEM
Orde atau dikenal dengan derajat suatu sistem dapat diestimasi dari fungsi step (step response) yang dipergunakanatau dengan penggunaan Bode Plot. Derajat relative suatu sistem yaitu perbedaan antara orde dari denominator (penyebut) dan orde dari numerator (pembilang) dari fungsi alih. 

STEP RESPONSE
Jika respon respon sistem merupakan non-zero step input akan memiliki slope yang bernilai 0 ketika t=0, system harus merupakan orde kedua atau lebih tinggi lagi sebab sistem memiliki derajat relative dua atau lebih. Jika step respon menunjukkan osilasi, sistem juga harus menunjukkan orde kedua atau lebih dengan sistem yang underdamped. 

BODE PLOT
Penggambaran fasa (phase plot) juga dapat menjadi indicator untuk mencari orde  yang baik dalam.  Jika fasa turun hingga dibawah -90 degrees, sistem merupakan orde kedua atau lebih tinggi.  Derajat relative sistem memiliki nilai paling kecil atau sama besar dengan bilangan dari perkalian -90 degrees hingga dicapai nilai asymtot pada nilai paling rendah pada
penggambaran fasa (phasa plot) sistem. 
 




IDENTIFIKASI  SISTEM DARI STEP RESPONSE
DAMPING RATIO – Untuk kondisi underdamped dari sistem orde dua, Nilai damping ratio dapat dihitung dari persentase overshoot dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
z = -ln(%OS/100) / sqrt(p2+ln2(%OS/100))
dimana %OS merupakan persentase overshoot, yang dapat diperkirakan dari penggambaran nilai off dari step response. 
DC GAIN -  Nilai Penguatan DC (DC gain) merupakan perbandingan dari kondisi steady state dari step response dengan nilai magnitude dari step input.  
DC Gain = steady state output / step magnitude  
NATURAL FREQUENCY  Frekuensi alami (natural frequency) dari kondisi underdamped sistem orde dua dapat ditentukan dari nilai damped frekuensi alami yang dapat diukur dari nilai penggambaran off step response dan nilai damping ratio seperti yang telah dihitung diatas.
wn = wd / sqrt(1 - z2)
dimana wd merupakan damped frekuensi dalam rad/s yang bernilai  2p/Dt dimana Dt merupakan interval wakti antara dua consecutive peaks dari step response.
IDENTIFIKASI  SISTEM DARI BODE PLOT
DC GAIN – Nilai DC Gain sistem dapat dihitung dari nilai magnitude bode plot ketika s=0.
DC Gain = 10M(0)/20
where M(0) is the magnitude of the bode plot when jw=0. 
NATURAL FREQUENCY Frekuensi alami (natural frequency) dari sistem orde dua terjadi ketika fasa dari respon mencepai sudut relative -90 terhadap fasa input.
wn = w-90°
dimana w-90° merupakan frekuensi pada saat phase plot di -90 degrees. 

DAMPING RATIO -  Nilai damping ratio sistem ditemukan dengan nilai DC Gain dan nilai magnitude dari bode plot ketika fasa plot  -90 degrees.
z = K / (2*10(M-90°/20))
dimana M-90° merupakan nilai magnitude bode plot ketika fasa  -90 degrees 

IDENTIFIKASI PARAMETER SISTEM
Jika tipe sistem telah diketahui, parameter khusus sistem dapat ditentukan dari step response atau bode plot. Bentuk umum fungsi alih dari sistem orde satu yaitu : 
G(s) = b/(s+a) = K/(ts+1).
Sedangkan bentuk umum fungsi alih dari sistem orde dua yaitu
G(s) = a/(s2+bs+c) = Kwn2/(s2+2zwns+wn2)

B.    Nilai kekakuan pada getaran

Pada dasarnya dalam suatu struktur, batang akan mengalami gaya lateral dan aksial. Suatu batang yang menerima gaya aksial desak dan lateral secara bersamaan disebut balok kolom. Akibat adanya gaya lateral batang akan berperilaku sebagai balok, sedangkan akibat gaya aksial desak batang akan berperilaku sebagai kolom. Kolom dapat dikategorikan berdasarkan panjangnya. Kolom pendek adalah jenis kolom yang kegagalannya berupa kegagalan material.
Kolom sedang kegagalannya ditentukan oleh hancurnya material dan tekuk (buckling), sedangkan kolom panjang adalah kolom yang kegagalannya ditentukan oleh tekuk yang terjadi akibat ketidakstabilan kolom. Tekuk terjadi apabila suatu kolom menerima gaya aksial meskipun belum mencapai tegangan leleh. (Daniel L. Schodek, 1999) Fenomena tekuk berkaitan dengan kekakuan elemen struktur. Suatu elemen yang mempunyai kekakuan kecil lebih mudah mengalami tekuk dibandingkan dengan elemen yang mempunyai kekakuan besar. Untuk menghindari kegagalan akibat tekuk pada kolom, maka luas tampang tekan dan bentuk dari tampang harus dipilih secara benar. Momen inersia menjadi salah satu pertimbangan yang penting dalam pemilihan tampang, maka nilai momen inersia dapat ditingkatkan dengan menyebarkan luas tampang dalam batas-batas praktis sejauh mungkin dari sumbunya. Bentuk dan ukuran profil standar adalah terbatas, dikarenakan adanya pertimbangan ekonomi dan faktor kesulitan dalam proses manufakturnya. Saat tampang standar sudah tidak mencukupi persyaratan
sebagai batang tekan yang diinginkan, maka beberapa tampang dapat dirangkai menjadi satu agar didapat suatu bentuk tampang yang diinginkan, yang disebut kolom batang tersusun. (S.K. Duggal, 1983).


Penampang bentukan (built-up) dibuat bila luas tampang melintang profil tidak mencukupi kebutuhan atau bila diperlukan profil dengan ukuran khusus dan radius girasi yang cukup besar (S.K. Duggal, 1983). Dalam bentuk batang tersusun diperlukan penghubung berupa pelat atau batang. Penghubung berfungsi untuk menahan gaya lintang sepanjang kolom sehingga batang tersusun dapat bekerja sebagai satu kesatuan dalam mendukung beban. Batang-batang penghubung dapat disusun melintang, diagonal atau kombinasi keduanya (Padosbajayo, 1991). Kolom batang tersusun mempunyai kelebihan dibanding kolom tunggal diantaranya :
1. Kolom tersusun memberikan luas tampang yang lebih besar dibanding kolom tunggal.
2. Kolom tersusun dapat menahan beban yang lebih besar dari kolom tunggal.
3. Kolom tersusun mempunyai kekakuan lebih besar dari kolom tunggal.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka diperlukan pengujian yang khusus menganalisa tentang kekuatan, kekakuan dan stabilitas kolom baja tersusun. Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas maka dapat dirumuskan sebuah masalah yang dapat dikaji yaitu :
1.      Berapa kekuatan kolom batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
2.      Bagaimana pola kegagalan batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
3.      Bagaimana pengaruh penambahan variasi jarak pelat kopel terhadap kekakuan kolom batang tersusun.
Pada penelitian ini dilakukan pembatasan yaitu :
1.      Kolom batang tersusun yang dibahas terdiri dari empat profil siku dengan variasi jarak pelat kopel seperti tampak pada Gambar 1.
Gambar 1. Batang tekan tersusun profil siku
1.      Beban yang bekerja adalah beban aksial tekan sentris.
2.      Tumpuan ujung kolom dianggap sebagai jepitsendi.
3.      Kekuatan las pada sambungan pelat pengaku dianggap mampu menahan beban yang bekerja.
4.      Momen pada kolom tidak dibahas.
5.      Peraturan konstruksi mengacu pada Standar Nasional Indonesia (SNI 03-1729-2002).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang telah dirumuskan, yaitu
1)      Mengetahui kekuatan kolom batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
2)      Mengetahui pola kegagalan batang tersusun terhadap gaya tekan aksial.
3)      Mengetahui pengaruh penambahan variasi jarak pelat kopel terhadap kekakuan kolom batang tersusun.



λ iy      = Angka kelangsingan.
λ c       = Faktor Angka kelangsingan.
E          = Modulus elastisitas baja (MPa)
fy         = tegangan leleh baja. (MPa)


B.    Bentuk getaran atau gelombang dan contohnya
Pengukuran gaya dengan transducer yang menggunakan sensor berbasis tegangan-regangan, strain gauge, banyak dilakukan khususnya pada konstruksi mesin maupun konstruksi sipil. Pada proses pembebanan statis, pengukuran dengan sensor ini memberikan hasil yang memuaskan yaitu cukup teliti dan relatif sederhana dalam pengerjaan. Namun demikian untuk proses pembebanan dinamis, terutama pada pengukuran gaya tumbukan, penggunaan sensor gaya ini masih mengalami beberapa kendala dimana faktor pegas dari transducer sering menghasilkan sinyal ikutan atau getaran bebas yang mengganggu sinyal utamanya. Untuk memperoleh ketepatan pengukuran maka sinyal-sinyal ikutan ini harus dihilangkan.
Konsole atau batang gantung sederhana (simple cantilever) merupakan bentuk transducer yang banyak digunakan karena kesederhanaannya. Namun demikian transducer jenis ini sangat peka terhadap timbulnya “getaran bebas” khususnya apabila digunakan dalam pengukuran gaya-gaya tumbukan. Mashithoh dan Purwantana (2000) misalnya, melakukan pengukuran volume droplet sprayer dengan metode tumbukan. Sebuah transducer gaya tipe konsole dengan ukuran yang sangat kecil dibuat untuk  mendeteksi besarnya gaya tumbukan droplet. Pada pengukuran droplet tunggal metode yang digunakan ini cukup baik yaitu dapat mendeteksi dan membedakan ukuran droplet berdasarkan gaya tumbukan yang dihasilkan. Namun demikian untuk droplet majemuk yang jatuh hampir dalam waktu yang hampir bersamaan sulit dideteksi karena dari output sinyal yang dihasilkan sulit dipisahkan antara sinyal yang terjadi karena proses tumbukan dengan sinyal karena getaran bebas oleh tumbukan droplet yang sebelumnya.
Purwantana et al. (2002), dalam pengukuran gaya tumbukan pada pisau pemotong rumputan mendapatkan bahwa sinyal ikutan selalu muncul dengan frekuensi atau kerapatan yang bervariasi tergantung kecepatan tumbukan dan kekerasan serta kekenyalan bahan yang bertumbukan. Untuk mengatasinya telah dicoba dengan membuat transducer yang mempunyai frekuensi natural yang lebih tinggi (Purwantana et al. (2003). Dengan cara ini masalah sinyal ikutan bisa sedikit dikurangi tetapi muncul masalah baru yaitu sensitvitas sensor menjadi turun.
Persoalan sinyal ikutann akibat getaran bebas juga ditemui oleh Shoji (2003) ketika melakukan pengukuran aliran butiran gabah yang masuk ke dalam kontainer suatu mesin pemanen padi yang dilakukan dalam rangka otomatisasi deteksi produksi padi pada suatu areal lahan. Proses tumbukan biji gabah dideteksi dengan sensor gaya berupa transducer cincin (ring transducer). Persoalan muncul karena setiap butir gabah yang menumbuk sensor memberikan sinyal ikutan sehingga sinyal tumbukan gabah berikutnya bercampur dengan sinyal ikutan gabah sebelumnya. Karena selang waktu antara gabah satu dan yang lain adalah amat sangat kecil maka terjadi kebingungan dalam analisis yaitu apakah suatu sinyal itu merupakan sinyal nyata atau sinyal ikutan dari proses tumbukan sebelumnya. Untuk mengatasi hal ini, Shoji (2003) menyarakan dilakukannya proses kompensasi getaran.
Seperti dikemukakan oleh Purwantana et al. (2002), disamping dari faktor bahan transducer persoalan sinyal ikutan atau getaran bebas juga disebabkan oleh bahan yang bertumbukan dengan sensor. Dalam hal bahan pertanian, yang pada umumnya bersifat viskoelastis, secara mekanis mempunyai kelembaman dengan variasi yang sangat lebar (Sitkei, 1986). Juga kekerasan kulit bahan pertanian seperti bijian atau buah-buahan juga dapat menyebabkan terjadinya getaran bebas pada sensor-sensor pengukurnya.
Dalam teori umum tentang getaran, dikenal getaran tak terkekang (undamped vibration). Termasuk dalam kriteria ini adalah getaran bebas yaitu getaran yang tetap ada meskipun gaya yang menyebabkannya telah dipindahkan. Getaran ini secara prinsip dapat dieliminasi apabila periode atau frekuensi getaran dalam interval tertentu dapat dianggap konstan.

LANDASAN TEORI


Sistem-sensor untuk pengukuran suatu gaya diilustrasikan sebagai berikut:

 
Persamaan umum untuk sistem-sensor diatas adalah:

 (1)
dimana F(t) adalah gaya luar yang bekerja pada sensor, k, c, m masing-masing adalah konstanta pegas, kelembaman (damping), dan inersia sensor, dan x adalah jarak perpindahan. Karena jarak perpindahan x adalah proporsional terhadap tegangan output X dari sistem sensor-amplifier-recorder, persamaan (1) dapat ditulis dengan mendefinisi ulang M, C, dan K sebagai:
  (2)


Konstanta K ditentukan dari kalibrasi statis sensor dimana X dianggap nol. Konstanta M dan C ditentukan dari data time-series yang dikumpulkan dari kumpulan data getaran bebas (damped free vibration) dimana gaya luar tidak bekerja.
Misalkan [Xk] adalah output absolut puncak-puncak getaran, maka penurunan puncak-puncak getaran dapat dinyatakan sebagai

(3)
dimana γ adalah koefisien kelembaman (damping). Dengan demikian
 (4)

dan dimana
 (5)
  
 Frekuensi sudut q dari vibrasi teredam dinyatakan dengan frekuensi sudut natural tak teredam (undamped natural angular frequency) ω0


(6)

Konstanta M dan C diperoleh dari persamaan (5) dan (6) sebagai
(7)

(8)
Dengan formulasi ini maka sinyal semu dari set data dimana sebenarnya gayanya sudah tidak bekerja lagi dapat dipisahkan dari sinyal nyata selama gaya bekerja.
Berdasarkan penjabaran teoritis diatas maka sinyal nyata dapat dipisahkan dari sinyal ikutannya sehingga dalam pengukuran akan didapatkan hasil nyata dari gaya yang bekerja pada sensor. Tingkat ketelitian hasil pengukuran akan sangat tergantung pada keakuratan nilai parameter sifat mekanis bahan khususnya konstanta pegas dan kelembaman.

Kaliberasi transducer

   Untuk keperluan pengujian, dibuat dua buah transducer gaya yaitu transducer gaya tipe pipa konsole (simple cantilever transducer) dan transducer gaya tipe oktagonal (octagonal ring transducer). Rangkaian sensor beserta instrumen pengukur ditunjukkan pada Gambar 1 Kaliberasi dilakukan untuk menentukan nilai konstanta pegas transducer. Kaliberasi dilakukan secara statis dengan memberikan variasi beban pada ujung transducer. Transducer diberi beban (F) secara bertahap dari 0 N sampai 200 N dan sebaliknya dari 200 N sampai 0 N. Sinyal yang terjadi akibat pembebanan, yang menyebabkan perubahan regangan strain gauge yang ditempelkan pada transducer, diperkuat dengan strain amplifier, dan kemudian dikonversi kedalam bentuk digital dengan AD konverter. Sinyal yang telah dikonversi ini kemudian diumpankan ke data recorder dan selanjutnya disimpan ke dalam komputer. Dari data yang diperoleh kemudian dibuat hubungan atau persamaan regresi regangan, dalam bentuk tegangan listrik, sebagai fungsi beban. Pada transducer tipe pipa konsole diperoleh persamaan F = 7,8335 X dimana F adalah besarnya gaya (Newton), dan X adalah output tegangan (miliVolt). Dengan demikian untuk sensor tipe pipa konsole yang diuji, nilai konstanta pegasnya adalah 7,8335 N/mV. Pada transducer tipe oktagonal pada arah vertikal diperoleh persamaan F = 5,7643 X. Dengan demikian untuk sensor tipe oktagonal yang diuji, nilai konstanta pegasnya adalah 5.7643 N/mV.




 
Gambar 1. Instalasi alat dan instrumen pengukuran
Gambar 2 sampai 5 memperlihatkan contoh-contoh hasil pengukuran dan analisa eliminasi getaran bebas pada berbagai pembebanan (pukulan). Terlihat bahwa secara nyata sinyal getaran bebas dapat dihilangkan dari sinyal utamanya. Masih tampak adanya sedikit gelombang sinyal namun dengan proporsi yang jauh sangat kecil. Pada pinsipnya apabila sisa gelombang ini merupakan gelombang yang mempunyai periode dan amplitudo maka masih bisa dieliminir dengan cara deferensiasi lebih lanjut sepertihalnya pada metode deferensiasi sebelumnya. Namun demikian dari hasil pengamatan menunjukkan bahwa sinyal tersebut bukan sinyal periodik sehingga proses lanjutan tidak diperlukan


Ada beberapa faktor yang menyebabkan masih adanya gelombang sisa setelah eliminasi, seperti: kurang presisinya dimensi transducer dan penempatan sensor gaya pada transducer. Pada transducer yang dibuat, sensor gaya ditempel dalam bentuk pasangan (atas dan bawah) dengan maksud supaya kompensasi bisa dilakukan. Namun apabila ketebalan antara bagian atas dan bawah sedikit berbeda maka proses kompensasi tersebut tidak bisa sempurna, tetapi masih meninggalkan selisih baik positip maupun negatip. Hal serupa juga terjadi bila spasi pemasangan sensor gaya tidak tepat sama. Perbedaan spasi juga menyebabkan besaran gaya yang berbeda sehingga besarnya regangan akibat beban tarikan di salah satu permukaan tidak bisa terkompensasi oleh pemendekan akibat beban tekan atau kompresi di permukaan yang berlawanan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa sifat kelembaman, damping atau dashpot dari bahan mempunyai peran yang lebih besar terhadap terjadi atau tidak terjadinya getaran bebas daripada sifat inersia bahan. Ini ditunjukkan oleh besaran konstanta kelembaman (C) yang nilainya jauh lebih besar dari konstanta inersia (M).

sifat inersia bahan. Ini ditunjukkan oleh besaran konstanta kelembaman (C) yang nilainya jauh lebih besar dari konstanta inersia (M).

Gambar 2. Grafik pengukuran gaya sebelum dan setelah dilakukan proses eliminasi pada sensor pipa konsole dengan beban 3,5 Newton




Gambar 3. Grafik pengukuran gaya sebelum dan setelah dilakukan proses eliminasi pada sensor pipa konsole dengan beban 2,5 Newton.



Gambar 4. Grafik pengukuran gaya sebelum dan setelah dilakukan proses eliminasi pada sensor oktagonal dengan beban 4 Newton.